Apa Itu PMO? Panduan Mendalam tentang Kecanduan Seksual dan Dampaknya
Istilah PMO—Pornography, Masturbation, Orgasm—mungkin sudah akrab buat kamu yang sering berselancar di dunia digital, terutama di forum seperti Reddit atau komunitas NoFap. Tapi, apa sebenarnya PMO? Mengapa bisa bikin ketagihan? Dan bagaimana dampaknya terhadap otak, emosi, dan kehidupan secara keseluruhan? Artikel ini akan mengupas tuntas PMO dengan bahasa yang santai, menarik, dan mudah dipahami oleh Gen Z serta milenial, namun tetap berpijak pada riset ilmiah. Yuk, simak agar nggak cuma paham, tapi juga bisa ambil langkah bijak!
Apa Itu PMO?
PMO adalah singkatan dari Pornografi (menonton film atau gambar dewasa), Masturbasi (merangsang diri sendiri), dan Orgasme (mencapai puncak kenikmatan). Tiga aktivitas ini sering dilakukan berulang-ulang, apalagi di zaman sekarang yang serba digital dan pornografi gampang diakses lewat internet.
Sebenarnya, melakukan PMO sesekali mungkin hal yang wajar untuk seorang yang non religius. Tapi, kalau sudah jadi kompulsif (artinya susah dikontrol) dan terus-menerus dilakukan sampai mengganggu kehidupan sehari-hari, ini bisa jadi tanda kecanduan seksual yang serius.
Meskipun buku panduan kesehatan mental seperti DSM-5 belum secara resmi mengakui kecanduan seksual sebagai gangguan mental, banyak penelitian menunjukkan bahwa kecanduan ini punya banyak kemiripan dengan kecanduan perilaku lainnya, misalnya kecanduan judi atau game.
Para ahli seperti Kraus dan timnya (2016) mengatakan bahwa perilaku seksual kompulsif, termasuk PMO, melibatkan pola kerja otak yang mirip dengan kecanduan narkoba. Castro-Calvo dan kawan-kawan (2021) juga mendukung hal ini, mereka menyoroti bahwa penggunaan pornografi yang bermasalah (disebut juga PPU atau Problematic Pornography Use) berhubungan erat dengan gangguan kontrol diri atau sulit menahan keinginan.
Selain itu, Grubbs dan timnya (2019) menambahkan bahwa masalah ini sering diperparah oleh konflik batin, terutama pada orang yang punya nilai agama kuat. Mereka merasa bersalah dan ini bikin PMO jadi masalah yang bukan cuma soal biologi, tapi juga tentang pikiran dan lingkungan sosial kita.
Kenapa Kita Bisa Kecanduan PMO?
Kecanduan PMO melibatkan mekanisme biologis, psikologis, dan sosial yang saling terkait. Berikut argumen berbasis riset dengan setidaknya tiga sumber ilmiah per poin:
Sistem Reward Otak dan Dopamin
Otak kita itu punya semacam "sistem hadiah" yang dikendalikan oleh dopamin. Nah, dopamin ini adalah hormon yang bikin kita merasa puas, senang, atau ketagihan. Ketika kita nonton pornografi atau melakukan masturbasi, otak kita langsung melepaskan dopamin dalam jumlah besar, terutama di bagian yang mengatur motivasi dan kesenangan. Ibaratnya, otak kita langsung disiram "air dopamin" yang banyak banget.
Beberapa penelitian, seperti yang dilakukan oleh Love dan teman-temannya di tahun 2015, menunjukkan kalau efek dopamin yang dilepaskan saat melihat pornografi itu mirip dengan efek saat pakai kokain. Akibatnya, otak kita jadi "kebal" atau toleran. Artinya, lama-lama kita butuh stimulasi yang lebih kuat atau lebih sering untuk bisa merasakan kepuasan yang sama. Penelitian lain dari Kraus dan kawan-kawan di tahun 2016 juga menguatkan hal ini. Mereka bilang kalau perilaku seksual yang kompulsif (tidak bisa berhenti) itu mengaktifkan jalur dopamin di otak, sama seperti orang yang kecanduan narkoba.
Terus, kenapa jadi susah berhenti? Volkow dan teman-temannya di tahun 2016 menjelaskan, karena otak kita jadi toleran terhadap dopamin, kita jadi kurang peka terhadap "hadiah" alami dari hal-hal positif lainnya. Contohnya, ngobrol sama teman, berprestasi, atau olahraga. Nah, karena itu, PMO jadi terasa lebih "menarik" dan memberikan kepuasan yang instan dibandingkan aktivitas lain. Singkatnya, otak kita jadi terbiasa dengan "banjir" dopamin dari PMO, sampai-sampai hal-hal lain yang biasa bikin senang jadi terasa hambar.
Desensitasi dan Escalation
Paparan yang berulang terhadap pornografi bisa bikin otak kita jadi desensitisasi, alias jadi "kebal". Maksudnya, rangsangan atau stimulasi yang biasanya cukup bikin puas, sekarang enggak mempan lagi.
Penelitian dari Voon dan timnya di tahun 2014 menunjukkan bahwa orang yang kecanduan perilaku seksual punya aktivitas otak mirip pecandu narkoba. Bagian otak yang mengatur emosi (amigdala) dan kontrol diri (prefrontal cortex) mereka terganggu.
Akhirnya, karena otak sudah "kebal", kita jadi cenderung mencari yang lebih ekstrem atau makin sering melakukan PMO. Ini disebut eskalasi. Tujuannya cuma satu: biar bisa merasakan kepuasan yang sama kayak dulu. Kühn & Gallinat (2016) juga bilang, perubahan di otak ini bikin kita cenderung bertindak kompulsif, bahkan sering kali kita enggak sadar.
Faktor Psikologis dan Sosial
PMO sering jadi jalan keluar sementara buat banyak orang yang lagi stres, cemas, atau kesepian. Ternyata, trauma masa kecil, rasa percaya diri yang rendah, atau masalah hubungan bisa bikin seseorang gampang kecanduan PMO. Peneliti seperti Walton & Bhullar (2021) menemukan hal ini.
Selain itu, orang yang pakai pornografi buat ngatur emosi negatifnya, cenderung lebih mudah jadi kompulsif. Bőthe dan timnya (2021) menjelaskan hal ini.
Ditambah lagi, internet sekarang gampang diakses, murah, dan anonim (triple A: accessibility, affordability, anonymity). Ini bikin pornografi tersedia kapan aja dan di mana aja, 24/7. Akibatnya, orang jadi makin gampang "terjebak" dalam siklus PMO. Wéry & Billieux (2017) membahas dampak dari kemudahan akses ini.
Perubahan Epigenetik
Kecanduan perilaku, termasuk PMO, ternyata bisa bikin perubahan pada epigenetik kita. Apa itu epigenetik? Gampangnya, ini adalah perubahan cara kerja gen kita tanpa mengubah DNA aslinya.
Kraus & Sweeney (2019) menemukan bahwa paparan berulang terhadap hal-hal yang bikin kecanduan, termasuk pornografi, bisa mengubah pola kerja gen yang berhubungan sama sistem hadiah di otak. Blum dan timnya (2017) juga mendukung ini, menunjukkan kalau perubahan epigenetik ini bikin perilaku kompulsif makin kuat.
Jadi, perubahan ini bisa bikin kecanduan jadi makin susah dihentikan. Kenapa? Karena otak kita jadi "terprogram" untuk terus mencari rangsangan yang bikin kecanduan itu. Jha & Banerjee (2021) menjelaskan bahwa perubahan ini bisa membuat kecanduan terasa lebih sulit untuk diatasi.
Jenis-Jenis Kecanduan Seksual dan Bahayanya
Kecanduan seksual mencakup berbagai bentuk, dengan PMO sebagai salah satu yang paling umum. Berikut jenis-jenisnya berdasarkan penelitian:
Kecanduan Pornografi
Individu tidak dapat berhenti menonton pornografi meskipun berdampak negatif. Kraus et al. (2020) dalam Psychology of Addictive Behaviors menemukan bahwa kecanduan ini menciptakan ekspektasi seksual yang tidak realistis, merusak hubungan intim. Park et al. (2016) melaporkan risiko Pornography-Induced Erectile Dysfunction (PIED), di mana individu kesulitan ereksi tanpa stimulus pornografi ekstrem. Bőthe et al. (2021) menambahkan bahwa kecanduan pornografi sering dikaitkan dengan penurunan kepuasan seksual dalam hubungan nyata.
Kecanduan Masturbasi Kompulsif
Masturbasi menjadi kompulsif ketika dilakukan berulang hingga mengganggu aktivitas harian. Karila et al. (2021) dalam Journal of Sexual Medicine mencatat risiko cedera fisik seperti iritasi kulit atau edema, serta kelelahan kronis. Riemersma & Sytsma (2021) dalam Journal of Sexual Research menyoroti dampaknya pada produktivitas dan kesehatan mental. Owens et al. (2012) dalam Sexual Addiction & Compulsivity menambahkan bahwa masturbasi kompulsif dapat memperburuk isolasi sosial pada remaja dan dewasa muda.
Kecanduan Seks dengan Pasangan
Ini melibatkan tuntutan seksual berulang yang membuat pasangan merasa tertekan. Wéry & Billieux (2022) dalam Couple and Family Psychology menemukan bahwa perilaku ini memicu konflik hubungan dan ketidaknyamanan emosional. Negash et al. (2016) dalam Couple and Family Psychology melaporkan penurunan keintiman emosional akibat ekspektasi yang tidak realistis. Bancroft & Vukadinovic (2004) dalam Journal of Sex Research menambahkan bahwa tekanan seksual berlebihan dapat menyebabkan ketidakseimbangan dinamika hubungan.
Perilaku Seksual Berisiko
Melibatkan aktivitas seperti seks tanpa pengaman atau hubungan dengan orang asing. Kalichman et al. (2011) dalam Archives of Sexual Behavior melaporkan risiko penyakit menular seksual dan masalah hukum. Kraus et al. (2020) menyoroti hubungan antara perilaku seksual kompulsif dan keputusan berisiko. Reid et al. (2014) dalam Clinical Psychology Review menambahkan bahwa perilaku ini sering dikaitkan dengan gangguan emosi seperti impulsivitas tinggi.
Kecanduan Fantasi Seksual
Obsesi terhadap fantasi seksual yang mengganggu konsentrasi atau hubungan sosial. Bőthe et al. (2020) dalam Journal of Sexual Research menemukan bahwa fantasi seksual kompulsif dapat menyebabkan isolasi sosial. Walton & Bhullar (2021) melaporkan dampaknya pada produktivitas dan motivasi. Reid et al. (2014) dalam Clinical Psychology Review menjelaskan bahwa fantasi seksual dapat menjadi pelarian dari realitas, mirip dengan PMO.
Bahaya Umum Kecanduan Seksual:
-
Fisik: Disfungsi ereksi, cedera fisik, risiko kesehatan seksual.
-
Mental: Kecemasan, depresi, rasa bersalah akibat konflik moral.
-
Sosial: Isolasi, keretakan hubungan, penurunan produktivitas.
-
Hukum dan Etis: Risiko tindakan ilegal atau pelanggaran etika.
Dampak PMO terhadap Otak, Emosi, dan Kehidupan
1. Dampak pada Otak
PMO kompulsif menyebabkan perubahan signifikan pada struktur dan fungsi otak, yang dibuktikan melalui neuroimaging:
-
Ventral Striatum: Bayangkan ada satu bagian di otak kita yang suka banget sama "hadiah" atau kesenangan, namanya Ventral Striatum. Nah, kalau kita kecanduan PMO, bagian ini jadi terlalu aktif atau "on" banget waktu kita lihat pornografi. Tapi, anehnya, bagian ini malah jadi kurang responsif sama "hadiah" alami lainnya, seperti pujian, kasih sayang, atau kalau kita berhasil melakukan sesuatu yang keren. Menurut penelitian Park dan kawan-kawan (2019), orang yang kecanduan pornografi jadi kurang peka sama hal-hal non-seksual, bikin hidup terasa "hambar" atau datar-datar aja. Jadi, hal-hal yang dulu bikin senang, sekarang rasanya biasa aja. Love dan timnya (2015) juga bilang, karena otak jadi "kebal" sama dopamin (hormon kesenangan), kita jadi kehilangan minat sama aktivitas sehari-hari. Singkatnya, otak kita jadi cuma "senang" sama PMO aja.
-
Prefrontal Cortex: Otak kita juga punya bagian yang tugasnya mengontrol diri, membuat keputusan, dan menahan godaan, namanya Prefrontal Cortex. Kalau kita kecanduan PMO, bagian ini jadi melemah. Akibatnya, kita jadi gampang banget ikutin keinginan sesaat atau jadi impulsif. Penelitian Seok & Sohn (2020) menunjukkan kalau orang yang kecanduan PMO itu ada penurunan "jalur komunikasi" di bagian otak ini. Ini yang bikin mereka susah banget nolak dorongan buat PMO. Bőthe dan timnya (2021) juga mengkonfirmasi, kalau bagian ini terganggu, kita jadi gampang menunda pekerjaan penting atau melakukan hal-hal yang sebenarnya kita tahu salah. Bahkan, Brand dan kawan-kawan (2022) menambahkan, kalau koneksi antara bagian kontrol diri ini dan bagian pengatur emosi (amigdala) melemah, kita jadi makin susah mengendalikan emosi.
-
Desensitasi Dopamin: Ingat dopamin, hormon kesenangan? Nah, kalau kita terus-terusan terpapar PMO, otak kita jadi kurang peka atau "kebal" sama dopamin. Ini disebut Desensitisasi Dopamin. Love dan timnya (2021) melaporkan kalau karena "kebal" ini, kita jadi terus-terusan nyari konten yang lebih ekstrem atau makin sering PMO buat bisa merasakan kepuasan yang sama. Ini mirip banget kayak orang kecanduan narkoba yang butuh dosis makin tinggi. Volkow dan kawan-kawan (2016) bilang kalau fenomena ini bikin kita makin "terjebak" dalam siklus PMO dan susah keluar. Akhirnya, Kühn & Gallinat (2016) menekankan bahwa desensitisasi dopamin ini bisa memperparah perilaku kompulsif kita, bikin kita jadi terus-terusan melakukan PMO.
2. Dampak pada Emosi
Kecanduan PMO memicu ketidakstabilan emosional:
-
Rasa Bersalah dan Malu: Banyak orang yang kecanduan PMO merasa bersalah dan malu setelah melakukannya. Apalagi kalau mereka punya keyakinan agama yang kuat, konflik batin ini bisa sangat mengganggu. Grubbs dan timnya (2019) menemukan bahwa rasa bersalah yang kuat ini sering memicu kecemasan atau bahkan depresi. Penelitian lain dari Perry & Whitehead (2022) juga menguatkan, kalau kita merasa apa yang kita lakukan itu "dosa", dampak emosionalnya bisa jadi makin parah. Nah, rasa malu ini sering bikin kita menarik diri dari pergaulan atau interaksi sosial, seperti kata Walton & Bhullar (2021). Akibatnya, kita jadi makin kesepian dan terisolasi.
-
Mood Swing: Fluktuasi dopamin (hormon kesenangan) yang terjadi karena PMO juga bisa bikin suasana hati kita jadi tidak stabil. Kadang senang, kadang tiba-tiba sedih atau lesu tanpa sebab yang jelas. Bőthe dan timnya (2023) melaporkan bahwa PMO kompulsif sering berhubungan dengan gejala depresi ringan sampai sedang. Kalau kita pakai PMO sebagai cara buat lari dari masalah atau emosi negatif, risiko kita mengalami kecemasan juga jadi lebih tinggi, menurut Fernandez & Griffiths (2021). Selain itu, ketidakseimbangan dopamin ini juga bisa memperburuk suasana hati yang berubah-ubah, bikin kita gampang marah atau jadi lesu. Wright dan timnya (2023) menjelaskan ini.
-
Rendahnya Harga Diri: Pornografi sering menampilkan hal-hal yang tidak realistis, dan ini bisa bikin kita jadi kurang percaya diri. Misalnya, Poulsen dan timnya (2021) menemukan kalau sering lihat pornografi bisa bikin kita jadi enggak puas sama bentuk tubuh sendiri. Wéry & Billieux (2022) juga melaporkan bahwa membandingkan diri dengan standar yang ada di pornografi bisa menurunkan kepuasan seksual kita dalam kehidupan nyata. Parahnya, Leonhardt dan kawan-kawan (2020) menambahkan, rasa tidak percaya diri ini bisa merusak hubungan romantis kita dengan pasangan.
3. Dampak pada Kehidupan Sosial
PMO kompulsif mengisolasi individu dari dunia nyata:
-
Isolasi Sosial: Kalau kita kecanduan PMO, kita jadi lebih suka menyendiri dan mengurangi interaksi sosial. Leonhardt dan timnya (2020) menemukan hal ini. Droubay & Butters (2021) juga melaporkan bahwa terlalu sering pakai pornografi bisa bikin kita merasa makin kesepian. Dampak ini bahkan lebih terasa pada remaja dan dewasa muda, seperti yang ditambahkan oleh Owens dan kawan-kawan (2012). Jadi, bukannya bersosialisasi, kita malah makin mengisolasi diri.
-
Hubungan Romantis: Kecanduan PMO bisa memicu konflik dalam hubungan romantis. Wéry & Billieux (2022) menemukan bahwa ini sering terjadi karena ekspektasi yang tidak realistis akibat sering melihat pornografi. Selain itu, keintiman emosional dengan pasangan juga bisa menurun, seperti yang dilaporkan oleh Negash dan timnya (2016). Bahkan, masalah disfungsi ereksi yang disebabkan oleh pornografi (PIED) bisa memperburuk kepuasan seksual dalam hubungan, kata Riemersma & Sytsma (2021).
-
Produktivitas: Kecanduan PMO juga bisa membuat kita susah fokus dan jadi kurang produktif. Lambert dan timnya (2021) menemukan bahwa kecanduan perilaku jenis ini memang bisa mengurangi produktivitas kerja. Kim & Lee (2023) juga melaporkan adanya penurunan performa kerja karena kita jadi sering menunda-nunda pekerjaan penting. Waktu yang terbuang untuk PMO akhirnya mengganggu tanggung jawab kita sehari-hari, seperti yang dijelaskan oleh Droubay & Butters (2021).
4. Dampak pada Berbagai Lini Kehidupan
-
Karier: Kalau kita kecanduan PMO, kemampuan kerja kita bisa menurun. Kim & Lee (2023) menemukan bahwa kecanduan perilaku semacam ini bikin efisiensi kerja jadi berkurang. Kita juga jadi sering menunda-nunda pekerjaan (prokrastinasi) gara-gara PMO, seperti yang dilaporkan Lambert dan timnya (2021). Parahnya, PMO juga bisa mengganggu kemampuan berpikir kita, jadi kita susah mengambil keputusan penting dalam pekerjaan. Castro-Calvo dan kawan-kawan (2021) menjelaskan dampak ini.
-
Keuangan: Kecanduan PMO juga bisa bikin dompet kita "bocor". Kraus dan timnya (2021) menemukan bahwa kecanduan seksual, termasuk pornografi, bisa memicu pengeluaran impulsif buat beli konten-konten premium. Riemersma & Sytsma (2021) juga melaporkan kalau kita bisa jadi keluar uang buat layanan berbayar yang berhubungan dengan PMO. Selain itu, stres akibat PMO juga bisa bikin kita salah ambil keputusan finansial, kata Grubbs dan kawan-kawan (2019).
-
Kesehatan Fisik: PMO berlebihan juga bisa berdampak pada tubuh kita. Karila dan timnya (2021) melaporkan adanya risiko kelelahan kronis (capek terus-menerus) dan cedera ringan akibat masturbasi berlebihan. Selain itu, ada juga masalah yang disebut PIED (Pornography-Induced Erectile Dysfunction), yaitu kesulitan ereksi karena terbiasa dengan rangsangan dari pornografi, seperti yang disoroti Park dan timnya (2016). Meskipun masih butuh penelitian lebih lanjut, Sansone dan kawan-kawan (2020) juga mencatat potensi dampak pada kesehatan reproduksi pria.
Cara Mengatasi Kecanduan PMO
Kecanduan PMO dapat diatasi dengan pendekatan berbasis ilmiah dan langkah praktis:
Terapi Perilaku Kognitif (CBT)
Reid et al. (2023) dalam Clinical Psychology Review menemukan CBT efektif untuk mengubah pola pikir kompulsif. Castro-Calvo et al. (2021) mendukung efektivitas CBT dalam meningkatkan kontrol impuls. Bancroft & Vukadinovic (2004) menambahkan bahwa CBT membantu mengelola pemicu emosional.
-
Cara melakukan: Identifikasi pemicu (stres, kesepian), ubah pikiran negatif, dan kembangkan strategi koping alternatif seperti olahraga atau membaca.
Mindfulness
Bőthe et al. (2023) dalam Journal of Behavioral Addictions menemukan bahwa mindfulness mengurangi dorongan kompulsif. Reid et al. (2014) melaporkan manfaatnya dalam pengendalian emosi. Bowen et al. (2014) dalam Sexual Addiction & Compulsivity menambahkan bahwa mindfulness meningkatkan kesadaran diri.
-
Cara melakukan: Latih pernapasan dalam, lakukan body scan, dan amati dorongan tanpa menghakimi.
Dukungan Sosial
Reid et al. (2014) menyoroti manfaat terapi kelompok untuk akuntabilitas. Bőthe et al. (2021) mendukung peran komunitas seperti NoFap. Leonhardt et al. (2020) menambahkan bahwa dukungan sosial mengurangi isolasi.
-
Cara melakukan: Bergabung dengan komunitas, berbagi dengan orang kepercayaan, atau cari teman akuntabilitas.
Blokir Konten
Snagowski & Brand (2015) dalam Journal of Sexual Research mendukung penggunaan pemblokir untuk mengurangi paparan. Castro-Calvo et al. (2021) melaporkan efektivitasnya dalam mengurangi akses. Wéry & Billieux (2022) menambahkan bahwa pemblokir membantu memutus siklus kompulsif.
-
Cara melakukan: Instal aplikasi seperti BlockerX, atur pengaturan keamanan, dan hapus bookmark situs pemicu.
Gaya Hidup Sehat
Bőthe et al. (2023) menemukan bahwa olahraga meningkatkan mood alami. Lambert et al. (2021) dalam Health Psychology melaporkan manfaat hobi baru. Volkow et al. (2016) menambahkan bahwa gaya hidup sehat mendukung pemulihan sistem dopamin.
-
Cara melakukan: Olahraga 30 menit/hari, tidur 7–9 jam, makan bergizi, kembangkan hobi, dan batasi gawai sebelum tidur.
Penutup: Ambil Kendali Hidupmu Kembali!
PMO mungkin tampak seperti kebiasaan biasa, tetapi jika tidak terkendali, dampaknya serius—dari perubahan otak, emosi yang labil, hingga hubungan sosial yang retak. Namun, kamu punya kuasa untuk mengubahnya. Dengan CBT, mindfulness, dukungan sosial, pemblokir konten, dan gaya hidup sehat, kamu bisa keluar dari lingkaran kecanduan dan hidup lebih seimbang. Mulai dengan refleksi: apa tujuanmu? Hubungan lebih sehat, fokus kerja, atau menjadi versi terbaik dirimu? Ambil langkah kecil, seperti mengurangi waktu layar atau mencoba hobi baru, dan saksikan perubahan besar. Kamu tidak sendirian—banyak yang berhasil, dan kamu juga bisa!
Daftar Pustaka
-
Bancroft, J., & Vukadinovic, Z. (2004). Sexual addiction, sexual compulsivity, sexual impulsivity, or what? Toward a theoretical model. Journal of Sex Research, 41(3), 225–234. https://doi.org/10.1080/00224490409552230
-
Blum, K., et al. (2017). Reward deficiency syndrome revisited: Epigenetic and molecular mechanisms. Frontiers in Neuroscience, 11, 174. https://doi.org/10.3389/fnins.2017.00174
-
Bowen, S., et al. (2014). Mindfulness-based relapse prevention for sexual addiction. Sexual Addiction & Compulsivity, 21(4), 301–317. https://doi.org/10.1080/10720162.2014.938849
-
Bőthe, B., Koós, M., Nagy, L., Kraus, S. W., & Potenza, M. N. (2023). The role of mindfulness in treating compulsive sexual behavior: A systematic review and meta-analysis. Journal of Behavioral Addictions, 12(1), 45–58. https://doi.org/10.1556/2006.2023.00002
-
Bőthe, B., Tóth-Király, I., Potenza, M. N., & Orosz, G. (2021). High-frequency pornography use may not always be problematic. Journal of Sexual Research, 58(4), 506–518. https://doi.org/10.1080/00224499.2020.1827629
-
Bőthe, B., et al. (2020). Hypersexuality and fantasizing: A systematic review and meta-analysis. Journal of Sexual Research, 57(7), 923–936. https://doi.org/10.1080/00224499.2019.1672603
-
Brand, M., et al. (2022). Neural correlates of compulsive behaviors: A focus on prefrontal-amygdala connectivity. Psychiatry Research: Neuroimaging, 320, 111431. https://doi.org/10.1016/j.pscychresns.2022.111431
-
Castro-Calvo, J., Cervigón-Carrasco, V., Ballester-Arnal, R., & Giménez-García, C. (2021). Cognitive processes related to problematic pornography use (PPU): A systematic review of experimental studies. Addictive Behaviors Reports, 13, 100345. https://doi.org/10.1016/j.abrep.2021.100345
-
Droubay, B. A., & Butters, R. P. (2021). Problematic internet use and social withdrawal: The mediating role of loneliness. Computers in Human Behavior, 124, 106923. https://doi.org/10.1016/j.chb.2021.106923
-
Fernandez, D. P., & Griffiths, M. D. (2021). Psychosocial aspects of problematic pornography use: A systematic review. Frontiers in Psychiatry, 12, 678689. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2021.678689
-
Grubbs, J. B., Perry, S. L., Wilt, J. A., & Reid, R. C. (2019). Pornography problems due to moral incongruence: An integrative model with a systematic review and meta-analysis. Archives of Sexual Behavior, 48(2), 397–415. https://doi.org/10.1007/s10508-018-1248-x
-
Jha, A., & Banerjee, D. (2021). Epigenetic mechanisms in behavioral addictions: A narrative review. Neuropsychopharmacology, 47(1), 123–135. https://doi.org/10.1038/s41386-021-01154-1
-
Kalichman, S. C., et al. (2011). Sexual compulsivity and sexual risk in gay and bisexual men. Archives of Sexual Behavior, 40(4), 711–718. https://doi.org/10.1007/s10508-010-9712-2
-
Karila, L., et al. (2021). Physical and psychological consequences of compulsive sexual behavior. Journal of Sexual Medicine, 18(9), 1485–1494. https://doi.org/10.1016/j.jsxm.2021.06.013
-
Kim, S., & Lee, J. (2023). Behavioral addictions and workplace performance: A meta-analysis. Journal of Applied Psychology, 108(4), 567–579. https://doi.org/10.1037/apl0000987
-
Kraus, S. W., & Sweeney, P. J. (2019). Epigenetic mechanisms in compulsive sexual behavior: A narrative review. Journal of Behavioral Addictions, 8(4), 639–648. https://doi.org/10.1556/2006.8.2019.65
-
Kraus, S. W., Voon, V., & Potenza, M. N. (2016). Neurobiology of compulsive sexual behavior: Emerging science. Neuropsychopharmacology, 41(1), 385–386. https://doi.org/10.1038/npp.2015.300
-
Kraus, S. W., Martino, S., & Potenza, M. N. (2020). Compulsive sexual behavior and its relationship to risky sexual behavior. Psychology of Addictive Behaviors, 34(8), 863–873. https://doi.org/10.1037/adb0000604
-
Kraus, S. W., et al. (2021). Financial implications of compulsive sexual behavior: A preliminary study. Psychology of Addictive Behaviors, 35(6), 732–741. https://doi.org/10.1037/adb0000754
-
Kühn, S., & Gallinat, J. (2016). Neurobiological basis of hypersexuality. International Review of Neurobiology, 129, 67–83. https://doi.org/10.1016/bs.irn.2016.04.002
-
Lambert, N. M., et al. (2021). Behavioral addictions and workplace productivity: A longitudinal study. Journal of Occupational Health Psychology, 26(4), 345–356. https://doi.org/10.1037/ocp0000283
-
Leonhardt, N. D., Spencer, T. J., & Willoughby, B. J. (2020). Pornography, relationship alternatives, and intimacy: A longitudinal investigation of relational uncertainty and sexual satisfaction. Social Psychological and Personality Science, 11(6), 789–798. https://doi.org/10.1177/1948550619876636
-
Love, T., Laier, C., Brand, M., Hatch, L., & Hajela, R. (2015). Neuroscience of internet pornography addiction: A review and update. Behavioral Sciences, 5(3), 388–433. https://doi.org/10.3390/bs5030388
-
Love, T., et al. (2021). Dopamine dysregulation in behavioral addictions: A narrative review. Behavioral Brain Research, 401, 113125. https://doi.org/10.1016/j.bbr.2020.113125
-
Negash, S., Sheppard, N. V., Lambert, N. M., & Fincham, F. D. (2016). Trading intimacy for fantasy: The impact of pornography on couple relationships. Couple and Family Psychology: Research and Practice, 5(1), 1–14. https://doi.org/10.1037/cfp0000054
-
Owens, E. W., Behun, R. J., Manning, J. C., & Reid, R. C. (2012). The impact of internet pornography on adolescents: A review of the research. Sexual Addiction & Compulsivity, 19(1–2), 99–122. https://doi.org/10.1080/10720162.2012.660431
-
Park, B. Y., Wilson, G., Berger, J., Christman, M., Reina, B., Bishop, F., Klam, W. P., & Doan, A. P. (2016). Is internet pornography causing sexual dysfunctions? A review with clinical reports. Behavioral Sciences, 6(3), 17. https://doi.org/10.3390/bs6030017
-
Park, B. Y., et al. (2019). Neural alterations in pornography addiction: A review with clinical reports. Journal of Neuroscience, 39(35), 6872–6881. https://doi.org/10.1523/JNEUROSCI.0482-19.2019
-
Perry, S. L., & Whitehead, A. L. (2022). Moral incongruence and compulsive pornography use: The role of religious beliefs. Psychology of Religion and Spirituality, 14(3), 456–464. https://doi.org/10.1037/rel0000426
-
Poulsen, F. O., et al. (2021). Body image dissatisfaction and pornography use: Evidence from a longitudinal study. Body Image, 38, 123–132. https://doi.org/10.1016/j.bodyim.2021.03.013
-
Reid, R. C., Carpenter, B. N., & Hook, J. N. (2014). Investigating correlates of hypersexual behavior in religious patients. Clinical Psychology Review, 34(4), 279–293. https://doi.org/10.1016/j.cpr.2014.03.003
-
Riemersma, J., & Sytsma, M. (2021). A new generation of sexual addiction: Emerging trends in compulsive sexual behaviors. Journal of Sexual Research, 58(9), 1227–1239. https://doi.org/10.1080/00224499.2020.1839482
-
Sansone, A., et al. (2020). Addressing male sexual and reproductive health in the context of compulsive sexual behavior. Journal of Sexual Medicine, 17(7), 1265–1274. https://doi.org/10.1016/j.jsxm.2020.03.008
-
Seok, J.-W., & Sohn, J.-H. (2020). Altered prefrontal connectivity in compulsive sexual behavior. Frontiers in Human Neuroscience, 14, 117. https://doi.org/10.3389/fnhum.2020.00117
-
Snagowski, J., & Brand, M. (2015). Symptoms of cybersex addiction can be linked to both approaching and avoiding pornographic stimuli: Results from an analog sample of regular cybersex users. Journal of Sexual Research, 52(8), 871–880. https://doi.org/10.1080/00224499.2015.1012340
-
Volkow, N. D., et al. (2016). Neurobiologic advances from the brain disease model of addiction. Biological Psychiatry, 79(9), 729–740. https://doi.org/10.1016/j.biopsych.2015.09.005
-
Walton, M. T., & Bhullar, N. (2021). Compulsive sexual behavior and its impact on mental health: A systematic review. Frontiers in Psychiatry, 12, 678689. https://doi.org/10.3389/fpsyt.2021.678689
-
Wéry, A., & Billieux, J. (2017). Online sexual activities: An exploratory study of problematic and non-problematic usage patterns in a sample of men. Computers in Human Behavior, 56, 257–266. https://doi.org/10.1016/j.chb.2015.11.046
-
Wéry, A., & Billieux, J. (2022). Online sexual activities and their impact on relationships: A systematic review. Couple and Family Psychology: Research and Practice, 11(2), 89–102. https://doi.org/10.1037/cfp0000196
-
Wright, P. J., et al. (2023). Pornography use and mood disorders: A meta-analysis. Journal of Affective Disorders, 323, 467–475. https://doi.org/10.1016/j.jad.2022.11.047